Kamis, 18 Juni 2015

Pesan Anak Terminal


Pesan Anak Terminal

Tetesan air hujan satu….dua….tiga….
Yang kian lama kian deras. “Aduh gimana nih, kalau begini terus kita tidak bisa pulang” kata kak Ran yang terlihat lelah sepulang dari kuliah.
“Sebentar lagi kak, nunggu hujan agak reda.” Jawabku
Aku pun juga tak sabar ingin segera pulang, sudah setengah jam kaki ini berdiri. Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki yang kira-kira lebih tua dariku dua tahun dan dia menghampiri kami sedang bernaung di pinggir jalan, dengan payungnya kami pun diantar sampai terminal.
“Terima kasih” ucap kak Ran sambil memberikan selembar uang ribuan padanya.
“Alhamdulillah…kita masih memiliki ke dua orang tua yang lengkap yang mampu dan mau menyekolahkan kita. Lihat anak tadi, ia terpaksa basah kuyup demi uang”.
Pemandangan seperti itu sudah biasa di kota ini, tak sedikit anak yang berani menembus hujan bahkan petir sekalipun, mereka berusaha menawarkan jasa penyewaan payungnya ditambah antar gratis sampai tujuan, walau dengan upah yang tak bisa bilang banyak.
Keesokan harinya, seperti biasa aku dan kak Ran berangkat bersama naik bis sekolah. Sesampai di sekolah aku terkejut, karena tak kusangka anak lelaki yang kemarin kutemui itu satu sekolah denganku.
Ting tong.
Bel istirahat pun berbunyi, aku mencoba menghampirinya dan aku pun menyempatkan diri berkenalan dengannya. Lutfi, ternyata ia telah lama menekuni pekerjaan sewa payung.
“Kalau hujan tidak turun ya aku ganti profesi”
“Apa itu” timpalku
“Loper Koran!” jawabnya tegas. “Atau paling tidak….aku bisa berjualan es, rokok, tissue dibus-bus. Jualan apa saja, setoran!” Semua itu ia lakukan untuk membiayai sekolahnya sendiri, juga adiknya.
Semenjak kematian ayahnya, ia menjadi seorang anak yang bertanggung jawab untuk keluarganya. Ibunya yang bekerja sebagai penjahit tak mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Aku sangat prihatin dengan kehidupan Lutfi. Apalagi dengar cerita kak Ran yang sering melihatnya di terminal, berlari-lari berebut penumpang yang baru turun dari bis dengan teman-teman sebayanya. Hingga suatu hari, entah mengapa seminggu ini aku tak pernah melihat Lutfi. Aku mendengar dari kawan-kawannya bahwa ia tak bisa pergi ke sekolah sebab biaya sekolah di pergunakan untuk berobat ibunya yang sakit. Sesampai dirumah, ku ceritakan hal itu pada kak Ran, dan kak Ran setuju untuk mencari keberadaannya. Kita pun mencarinya di terminal.
“Banyak sekali kenangan di terminal ini. Tapi secepat kilat semua itu berlalu, Lutfi dimana kamu?” keluh kak Ran. Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang kami.
“Assalamualaikum.”
“Lutfi! Kamu kemana saja? Kami mencarimu.”
“Maaf kak Ran, telah membuat bingung kakak. Sebenarnya ibuku….?”
“Ya, kami sudah mengetahuinya”
“Boleh tidak aku minta sesuatu dari kaka…?” kak Ran mengerutkan keningnya kemudian mengangguk.
“Boleh aku pinjam uang kakak? Aku janji, nanti setelah ibuku sudah sembuh, aku akan mengembalikannya.”
“Ya boleh saja, tetapi….” Kakak pun berfikir keras. Karna aku tahu, ia sudah bersusah payah menabungkan uang untuk membeli sesuatu yang ia inginkan.
“Ayolah kak…. Ku mohon pinjamkan uang itu untuk kesembuhan ibuku….” Dengan cepat kak Ran memberikan kepadanya, entah dengan perasaan berat atau tidak, aku tak tahu.
Selama 3 hari ia tak lagi Nampak di terminal. Terkenang wajahnya yang polos yang sangat butuh kasih sayang kedua orang tua, tapi semua itu telah tiada. Kak Ran mulai curiga padanya, karena lama tak terlihat mungkin ia membawa pergi uang kakak. Namun saat kami berdua sedang duduk-duduk di teras depan rumah kami, dan saat hujan mengguyur deras, tiba-tiba tampak bocah kecil yang berlari-lari menghindari hujan dengan payung yang mirip dengan yang biasa dipakai Lutfi bekerja, di tanganya sebuah kertas putih yang kusam serta tak luput dari tetesan air hujan, beserta uang receh didalamnya. Ia menyerahkan pada kak Ran. Perlahan kak Ran membuka isi kertas itu.
Untuk kak Ran dan Rani,
Semoga sehat wal afiyat. Ucapku terima kasih kak Ran dan Rani atas pinjaman uangnya demikesembuhan ibuku. Alhamdulillah Ibuku kini telah sembuh. Pesanku hanya satu pada kak Ran dan Rani temanku, berbaktilah pada orang tuamu selagi mereka masih bersamamu, patuhlah pada semua perintahnya dan jangan pernah membangkang. Yang terakhir maafkan lah kesalahanku merepotkan kalian berdua. Jangan pernah mencariku lagi di terminal karena aku tidak akan pernah ada disana lagi.
Salamku Lutfi.
“Adek, kenapa adek yang mengantarkannya? Adek ini siapa?” Tanya kak Ran pada anak itu
“Aku, adeknya kak Lutfi”
“Kak Lutfinya mana?” timbal Kak Ran
“Emmmm…kak Lutfi….kak Lutfi…”
“Kak Lutfinya mana?” kata kak Ran mengulangi, agak memaksa.
“Sebenarnya, ketika kak Lutfi membelikan obat untuk ibuku kemarin malam, sepulangnya kak Lutfi kehujanan, setiba di rumah kak Lutfi sakit, dan pagi tadi kak Lutfi meninggal.”
Mendengar ucapan anak itu hanya tetesan air mata yang bisa mewakili luka kami.
“Maafkan aku Lutfi.” Ucap kak Ran, menyesal.

 

0 komentar:

Posting Komentar