Pesan Anak Terminal
Tetesan
air hujan satu….dua….tiga….
Yang
kian lama kian deras. “Aduh gimana nih, kalau begini terus kita tidak bisa
pulang” kata kak Ran yang terlihat lelah sepulang dari kuliah.
“Sebentar
lagi kak, nunggu hujan agak reda.” Jawabku
Aku
pun juga tak sabar ingin segera pulang, sudah setengah jam kaki ini berdiri.
Tak lama kemudian, seorang anak laki-laki yang kira-kira lebih tua dariku dua
tahun dan dia menghampiri kami sedang bernaung di pinggir jalan, dengan
payungnya kami pun diantar sampai terminal.
“Terima
kasih” ucap kak Ran sambil memberikan selembar uang ribuan padanya.
“Alhamdulillah…kita
masih memiliki ke dua orang tua yang lengkap yang mampu dan mau menyekolahkan
kita. Lihat anak tadi, ia terpaksa basah kuyup demi uang”.
Pemandangan
seperti itu sudah biasa di kota ini, tak sedikit anak yang berani menembus
hujan bahkan petir sekalipun, mereka berusaha menawarkan jasa penyewaan
payungnya ditambah antar gratis sampai tujuan, walau dengan upah yang tak bisa
bilang banyak.
Keesokan
harinya, seperti biasa aku dan kak Ran berangkat bersama naik bis sekolah.
Sesampai di sekolah aku terkejut, karena tak kusangka anak lelaki yang kemarin
kutemui itu satu sekolah denganku.
Ting
tong.
Bel
istirahat pun berbunyi, aku mencoba menghampirinya dan aku pun menyempatkan
diri berkenalan dengannya. Lutfi, ternyata ia telah lama menekuni pekerjaan
sewa payung.
“Kalau
hujan tidak turun ya aku ganti profesi”
“Apa
itu” timpalku
“Loper
Koran!” jawabnya tegas. “Atau paling tidak….aku bisa berjualan es, rokok,
tissue dibus-bus. Jualan apa saja, setoran!” Semua itu ia lakukan untuk
membiayai sekolahnya sendiri, juga adiknya.
Semenjak
kematian ayahnya, ia menjadi seorang anak yang bertanggung jawab untuk
keluarganya. Ibunya yang bekerja sebagai penjahit tak mampu mencukupi kebutuhan
hidupnya. Aku sangat prihatin dengan kehidupan Lutfi. Apalagi dengar cerita kak
Ran yang sering melihatnya di terminal, berlari-lari berebut penumpang yang
baru turun dari bis dengan teman-teman sebayanya. Hingga suatu hari, entah
mengapa seminggu ini aku tak pernah melihat Lutfi. Aku mendengar dari
kawan-kawannya bahwa ia tak bisa pergi ke sekolah sebab biaya sekolah di
pergunakan untuk berobat ibunya yang sakit. Sesampai dirumah, ku ceritakan hal
itu pada kak Ran, dan kak Ran setuju untuk mencari keberadaannya. Kita pun
mencarinya di terminal.
“Banyak
sekali kenangan di terminal ini. Tapi secepat kilat semua itu berlalu, Lutfi
dimana kamu?” keluh kak Ran. Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang kami.
“Assalamualaikum.”
“Lutfi!
Kamu kemana saja? Kami mencarimu.”
“Maaf
kak Ran, telah membuat bingung kakak. Sebenarnya ibuku….?”
“Ya,
kami sudah mengetahuinya”
“Boleh
tidak aku minta sesuatu dari kaka…?” kak Ran mengerutkan keningnya kemudian
mengangguk.
“Boleh
aku pinjam uang kakak? Aku janji, nanti setelah ibuku sudah sembuh, aku akan
mengembalikannya.”
“Ya
boleh saja, tetapi….” Kakak pun berfikir keras. Karna aku tahu, ia sudah
bersusah payah menabungkan uang untuk membeli sesuatu yang ia inginkan.
“Ayolah
kak…. Ku mohon pinjamkan uang itu untuk kesembuhan ibuku….” Dengan cepat kak
Ran memberikan kepadanya, entah dengan perasaan berat atau tidak, aku tak tahu.
Selama
3 hari ia tak lagi Nampak di terminal. Terkenang wajahnya yang polos yang
sangat butuh kasih sayang kedua orang tua, tapi semua itu telah tiada. Kak Ran
mulai curiga padanya, karena lama tak terlihat mungkin ia membawa pergi uang
kakak. Namun saat kami berdua sedang duduk-duduk di teras depan rumah kami, dan
saat hujan mengguyur deras, tiba-tiba tampak bocah kecil yang berlari-lari
menghindari hujan dengan payung yang mirip dengan yang biasa dipakai Lutfi
bekerja, di tanganya sebuah kertas putih yang kusam serta tak luput dari
tetesan air hujan, beserta uang receh didalamnya. Ia menyerahkan pada kak Ran.
Perlahan kak Ran membuka isi kertas itu.
Untuk
kak Ran dan Rani,
Semoga
sehat wal afiyat. Ucapku terima kasih kak Ran dan Rani atas pinjaman uangnya
demikesembuhan ibuku. Alhamdulillah Ibuku kini telah sembuh. Pesanku hanya satu
pada kak Ran dan Rani temanku, berbaktilah pada orang tuamu selagi mereka masih
bersamamu, patuhlah pada semua perintahnya dan jangan pernah membangkang. Yang
terakhir maafkan lah kesalahanku merepotkan kalian berdua. Jangan pernah
mencariku lagi di terminal karena aku tidak akan pernah ada disana lagi.
Salamku
Lutfi.
“Adek,
kenapa adek yang mengantarkannya? Adek ini siapa?” Tanya kak Ran pada anak itu
“Aku,
adeknya kak Lutfi”
“Kak
Lutfinya mana?” timbal Kak Ran
“Emmmm…kak
Lutfi….kak Lutfi…”
“Kak
Lutfinya mana?” kata kak Ran mengulangi, agak memaksa.
“Sebenarnya,
ketika kak Lutfi membelikan obat untuk ibuku kemarin malam, sepulangnya kak
Lutfi kehujanan, setiba di rumah kak Lutfi sakit, dan pagi tadi kak Lutfi
meninggal.”
Mendengar ucapan anak itu hanya tetesan air mata yang bisa
mewakili luka kami.
“Maafkan aku Lutfi.” Ucap kak Ran, menyesal.
0 komentar:
Posting Komentar